Kamis, 06 Oktober 2011

Bapak dan Simbok

Aku anak kelima dari lima bersaudara, dilahirkan di sebuah dusun nun jauh disana. Di Klaten, tepatnya Klaten kemringet, perbatasan dengan kabupaten Sukoharjo dan dekat dengan Kabupaten Wonogiri. Bahkan temanku dari kota Semarang waktu datang ke rumahku, sempat tanya " iki ya masih Indonesia?" Jawabku ya jelas masih, sini wilayah Indonesia yang berbatasan dengan Irak, jawabku ngawur saja.
Ini menunjukkan bahwa tempat asalku dari sebuah desa yang jauh dari kota dan kehidupan keluargaku sangat kekurangan.Bapakku Petani gurem yang hanya punya 3 petak sawah, itupun sering digadaikan untuk membiayai sekolah anaknya. Simbokku seorang pembuat dan sekaligus menjual tempe.
Aku sangat ingat betul masa kecilku bersama keluarga, karena aku anak yang paling kecil (ragil begitu panggilanku dirumah), aku hidup dimanjakan dibanding dengan saudara-saudaraku (manja dalam kekurangan). Jika ada pembagian makanan misalnya, aku selalu diberi lebih oleh mbokku (begitu aku menyebut ibuku). Ada kejadian yang tidak dapat saya lupakan setiap datang musim kemarau atau awal musim penghujan, Persediaan beras menipis, (sangat ironis petani kok tidak punya beras,tetapi itu kenyataan) keluargaku selalu mengganti nasi dengan tiwul. Tetapi mbokku selalu menyisihkan sedikit beras untukku, Mbokku selalu menanak sedikit nasi dan tiwul, lha jatah saya dipiring bagian bawah diberi nasi dan atasnya diberi tiwul,sedang kakak-kakaku tiwul semua (waktu itu makan dijatah 1 piring).
Bapak simbokku bekerja membanting tulang untuk kelima anaknya, memang yang paling berat untuk membiayai anak-anaknya sekolah. Kenyataannya anak-anaknya sekarang sudah berkeluarga semua dan hidupnya lebih layak,walaupun tidak kaya. Itulah perjuangan bapak simbokku untuk anak-anaknya.
Sekarang bapak simbokku sudah tua renta, bapak berumur 80 tahun dan simbok berumur 73 tahun. Bapak pendengarannya sudah terganggu dan simbok yang terganggu penglihatannya. Bapak dan simbok hidup berdua dirumah yang dulu kita tingaali bersama. Hanya kadang kita berkumpul di rumah itu, waktu lebaran atau natal. Kalau berkumpul anak dan cucunya berjumlah 21, bapak simbokku merasa bahagia walaupun dengan pendengaran dan penglihatan berkurang. Aku sebagai anaknya meras trenyuh melihat itu semua. Bapak dan simbok tidak mengeluh bahkan selalu bersyukur walaupun dalam keadaan seperti itu. Apa yang dapat kulakukan untuk Bapak Simbokku??